Opini

622

Wajah Baru RUU Pemilu

Oleh Muhammad Usman* Penyusunan RUU Pemilu sedang berproses dalam pangkuan Komisi II DPR RI. Perubahan ini dipandang sebagai langkah untuk perbaikan sistem kepemiluan kita. Para penggiat isu pemilu dan demokrasi terus memantau proses dan progres kebijakan nasional ini. Salah satu perkumpulan sipil yang fokus dalam pemantauan isu ini adalah Perludem. Di tengah masa new normal Covid-19, pembahasan RUU Pemilu terus berlanjut. Pada laman website rumahpemilu, sudah ada dokumen rancangan dalam bentuk PDF (RUU Pemilu per tanggal 06 Mei 2020). Dalam draf terbaru terdapat perubahan desain kepemiluan; baik dari sisi jadwal hingga terdapat isu “krusial” yang membutuhkan partisipasi wacana. Draf terbaru, berbeda dari rancangan awal Badan Keahlian Dewan (BKD-RI) yang dirilis per tanggal 10 April 2020 (draf lama). Secara umum, draf terbaru RUU Pemilu terdapat enam buku dan 741 pasal, ada 23 pasal yang ditambahkan dari draf lama 723 pasal. Sedangkan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum hanya 573 pasal saja. Mungkin  penambahan banyak pasal dalam rancangan dikarenakan semangat penggabungan UU No 7 Tahun 2017, dengan ketentuan-ketentuan pilkada. Sehingga undang-undang terkait proses politik bisa disatukan “pendekatan omnibus law”. Secara umum, draf terbaru RUU Pemilu terdapat enam buku dan 741 pasal, ada 23 pasal yang ditambahkan dari draf lama 723 pasal. Sedangkan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum hanya 573 pasal saja. Mungkin  penambahan banyak pasal dalam rancangan dikarenakan semangat penggabungan UU No 7 Tahun 2017, dengan ketentuan-ketentuan pilkada. Sehingga undang-undang terkait proses politik bisa disatukan “pendekatan omnibus law”. Selain itu, mengganti penyebutan kata pemilu lokal menjadi pemilu daerah; maksud pemilu daerah masih sama terminologinya dengan pemilu lokal (Pasal 4). Klasifikasi rezim kepemiluan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu pemilu daerah dan pemilu nasional dengan mekanisme penyelenggaraannya secara bersamaan pada waktu yang berbeda. Penjadwalan Pemilu Draf terbaru menjadwalkan keserentakan pemilu daerah pertama kali di tahun 2027, keserentakan pemilu nasional di tahun 2029, atau dua tahun sesudah terselenggarakannya pemilu daerah (Pasal 734). Pergesaran jadwal hingga tahun 2027 dipastikan lebih bijak dan adil bagi para anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, lantaran tidak menghilangkan masa jabatan (bakti) mereka. Draf versi BKD berpotensi terpotongnya masa bakti DPRD provinsi dan kabupaten/kota selama 2 tahun (seandainya skema serentak lokal/daerah tetap dipertahankan di tahun 2022). Dengan tidak terpotongnya masa bakti legislatif hasil pemilihan 2019, tentunya mereka memiliki kesempatan yang luas untuk terus mengawal isu pembangunan, serta melanjutkan perjuangan isu strategis pada daerah pemilihan (dapil) yang mereka wakili. Pemotongan masa bakti secara mendadak bukanlah solusi yang baik, bahkan “berdampak” trauma politik bagi pemenang hati rakyat pada Pileg 2019. Ditambah lagi capaian target kampanye mereka gagal diimplementasikan karena masa pengabdian terpotong di tengah periode. Karena skema penjadwalan pemilu daerah telah berubah, hal yang tidak dapat dielakkan pemilu 2024 tetap pemilu dengan 5 kotak suara. Persis sama seperti tahun 2019, hanya saja untuk masa bakti jabatan DPR provinsi dan kabupaten/kota 3 tahun, karena berhadapan langsung dengan pemilu daerah pertama di tahun 2027 (Pasal 735 ayat 6). Para calon legislatif yang bakal berkompetisi di tahun 2024, sudah bisa menghitung dari awal target kampanye isu dapil dan pembangunan; yang memungkinkan diadvokasi (logis) dalam masa 3 (tiga) tahun sampai tahun 2027. Lalu bagaimana garis penjadwalan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada); baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dalam rancangan terbaru? Pilkada hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada desember 2020 (sedang berlangsung tahapannya di masa covid-19), sedangkan Pilkada hasil pemilihan 2017 berlangsung di tahun 2022 dan Pilkada hasil pemilihan 2018 diselenggarakan pada tahun 2023 (Pasal 731 ayat 1, 2 dan 3). Pilkada yang sedang dan akan berlangsung di tahun 2022 dan 2023 nantinya tetap mengacu pada undang-undang pilkada yang lama (Pasal 733). Selain rujukan UU nasional, Pilkada di Aceh juga merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. RUU Pemilu yang sedang dibahas akan diberlakukan 5 tahun setelah diundangkan (Pasal 741 ayat 1). Isu Krusial RUU Pemilu memunculkan beberapa isu krusial yang menjadi sorotan publik. Pertama, sistem proporsional tertutup. Dalam pasal 206, 236 dan 259 menyatakan bahwa sistem pemilihan DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan menggunakan sistem tertutup. Pemberlakukan sistem ini direncanakan secara berjenjang.   Kedua, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) merupakan ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi. Sejarah kepemiluan di Indonesia, ambang batas sudah mulai diberlakukan pada pemilu 2009 sebesar 2,5%, lalu pemilu 2014 sebesar 3,5% kemudian pemilu 2019 sebesar 4 % dari jumlah suara sah secara nasional. Ambang batas parlemen yang telah diberlakukan hanya level penentuan DPR RI. Kedepan berdasarkan draf terbaru pemberlakuan ambang batas parlemen direncanakan secara berjenjang hingga tingkat kabupaten/kota. Bukan cuma itu saja, ambang batas parlemen bakal ditingkatkan dari  4% menjadi 7%, setidaknya ada 7 pasal dalam rancangan yang menyebutkan ambang batas parlemen yaitu pasal 217, 248, 270, 553, 556, 557 dan 580. RUU Pemilu masih mempertahankan konsep presidential threshold (ambang batas bagi pencalonan presiden). Besaran ambang batas sebesar 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dihitung dari suara sah nasional pemilu sebelumnya. Angka 20% merupakan besaran yang digunakan pada pencalonan presiden tahun 2019 lalu. Menurut Perludem “masih dipertahankan ambang batas presiden bisa membuat oligarki parpol, makin sempitnya partisipasi perempuan hingga politik transaksional, dorong Perludem berharap presidential threshold dihapus” (Baca: nasional.sindonews.com, 12/06/2020). Ketiga, “potensi dualisme” kelembagaan panitia pengawas pemilihan (Panwaslih) di Aceh. Dalam pasal 60 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), menyebutkan “panitia pengawas pemilihan Aceh dan kabupaten/kota dibentuk oleh pengawas tingkat nasional dan bersifat adhoc, serta DPRA dan DPRK memiliki kewenangan dalam mengusulkan keanggotaan pengawas pemilu di Aceh”. Catatan Histori pasal 60 sudah pernah dicabut pasca lahirnya UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Lantaran pencabutan, terjadilah gugutan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) hingga keluar putusan MK dengan nomor perkara: 61/PUU-XV/2017 yang mengembalikan pasal UUPA yang telah dicabut.  Dalam kaca mata berbeda, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga memiliki legitimasi dan kewenangan dalam pembentukan pengawas pemilu di Indonesia termasuk Aceh. Guna memastikan kewenangan para pihak berjalan dengan baik, maka sepatutnya Pemerintah Aceh bersama DPRA segera bermusyawarah (koordinasi politik) dengan Kementerian Dalam Negeri, Komisi II DPR, Forbes DPR dan DPD RI asal Aceh, Bawaslu RI, DKPP dan pihak-pihak lainnya untuk mengambil langkah-langkah strategis. Perlu disadari, penyusunan kerangka hukum dan badan penyelenggara pemilu menjadi bahagian dari 15 aspek standar internasional yang dijadikan tolak ukur demokratis-tidaknya pemilu (Baca: Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu, Didik Supriyanto, 2007). Sudah dipublis di https://www.acehtrend.com Telah di Posting di : https://www.acehtrend.com/news/wajah-baru-ruu-pemilu/index.html pada tanggal 21 Juni 2020 Penulis adalah anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Utara. Bisa dihubungi melalui email: pena.usman@gmail.com.


Selengkapnya
508

Mengawal Revisi RUU Pemilu

Oleh Muhammad Usman Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sedang meramu kembali arah pengaturan pemilu di Indonesia. Dalam hal ini, Komisi II berperan aktif dalam proses melahirkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu, lantaran ranah kepemiluan salah satu satu tugas yang diemban oleh Komisi II. Catatan berbagai media, ada 50 RUU yang sepakati oleh DPR RI yang menjadi prioritas tahun 2020 dalam sidang Paripurna Selasa (17/12/2019). Salah satunya menyangkut RUU tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada waktu itu tercatat ada tiga gugatan di MK yaitu nomor perkara: 61/PUU-XV/2017, 66/PUU-XV/2017 dan 75/PUU-XV/2017. Pada saat putusan akhir dibacakan oleh MK, 2 (dua) gugatan diterima dan perkara dengan nomor register 75/PUU-XV/2017 ditolak (Baca acehtrend, 12/01/2018). Pada waktu itu, elemen sipil Aceh pun tidak tinggal diam: berjuang, bergerak dan mengawal proses semua gugatan tersebut. Cerita judicial review tahun 2017, bukan saja menguras tenaga, pikiran dan waktu, bahkan DPRA menganggarkan sebesar Rp 600 juta dalam APBA-P untuk membela kewenangan Aceh, untuk kebutuhan bersidang perkara nomor 66/PUU-XV/2017. Saat ini, proses perubahan UU No.7 tahun 2017 sedang berproses di gedung Senayan. Pengalaman pahit tahun 2017 “memungkinkan” terjadi kembali; bila kurang peka terhadap kebijakan nasional. Perlunya Langkah Bersama Pemerintahan Aceh perlu duduk bersama serta ikut melibatkan berbagai pemangku kepentingan guna merumuskan langkah bersama merespon perubahan RUU Pemilu. Jangan sampai harus mengeluarkan energi dan berbondong-bondong menggugat ke MK pada saat RUU ini disahkan nantinya. Sebab proses peradilan bukan saja menguras pikiran dan tenaga bahkan berpotensi kalah (ditolak). Keberadaan perwakilan rakyat Aceh dengan kekuatan 13 orang DPR RI dan 4 orang DPD bisa dijadikan jembatan penghubung antara Aceh dan Jakarta. Perlunya komunikasi intensif dan mengikat semua pihak. Dengan adanya jembatan Aceh-Jakarta apapun yang hendak didorong oleh DPRA menemukan jalur pengalawan ketat ditingkat Pusat. Bila melihat lebih dalam, keberadaan personal 13 orang DPR RI asal Aceh tidak satupun bertugas di Komisi II. Tetapi terdapat keanggotaan di badan legislasi nasional (Banleg DPR RI). Keterwakilan langsung personal DPR RI asal Aceh pada komisi-komisi tertentu, dalam alat kelengkapan dewan (AKD) perlu dijadikan analisa khusus; guna memahami dinamika dan proses yang berkembang pada waktu pembahasan RUU Pemilu. Ini menjadi hal dasar sebagai perangkat dalam analisis aktor untuk advokasi isu apapun. Bacaan RUU Pemilu Dalam RUU Pemilu versi Badan Keahlian Dewan (BKD) terdapat enam buku dan 723 pasal. Pemilu dibedakan menjadi 2 (dua) rezim yaitu pemilu nasional dan lokal. Paham pemilu nasional memilih presiden dan wakil presiden, pemilu anggota DPR, dan pemilu anggota DPD yang proses penyelenggaraannya secara bersamaan. Sedangkan pemilu lokal dimaksudkan untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, pemilu anggota DPRD provinsi, pemilu bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota yang juga diselenggarakan secara bersamaan (Pasal 4 RUU Pemilu pertanggal 09 April 2020). Skenario rancangan dari tim Badan Keahlian Dewan (BKD-DPR) menyusun tiga opsi pemilu nasional dan lokal. Opsi A yaitu pemilu nasional tahun 2024 dan pemilu lokal tahun 2022. Sedangkan opsi B yaitu pemilu nasional tahun 2024 dan pemilu lokal tahun 2026 dan opsi C yaitu pemilu nasional tahun 2024 dan pemilu lokal tahun 2024. Dinamika RUU Pemilu, juga mendorong keinginan beberapa partai politik kembali memberlakukan sistem proporsional tertutup untuk pemilu legislatif, pemilih hanya disodorkan logo partai politik untuk memberikan suara tanpa nama-nama calon legislatif (caleg). Sedangkan proporsional terbuka pemilih bisa langsung memberikan suara kepada personal caleg tertentu atau hanya memilih logo partai politik. Pemberlakukan sistem proporsional tertutup, memiliki kewenangan bagi partai menentukan siapa caleg yang diutus untuk duduk di parlemen (konfigurasi anggota legislatif akan disusun oleh partai politik). Pemilu kita, sudah pernah menggunakan sistem tertutup pada waktu pemilu 1955 dan 1999. Sedangkan sistem terbuka juga telah digunakan pada masa 2004, 2009, 2014, dan 2019. Menurut penggiat pemilu dari Perludem kedua sistem tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Andrew Reynold, peneliti pemilu dari International IDEA menyebutkan, bahwa sesungguhnya tidak ada sistem pemilu ideal. Yang ada adalah sistem pemilu tepat, yang paling cocok di satu negara (Didik Supriyanto, rumahpemilu.org). Bagaimana Posisi Aceh? Bila pilkada tidak gelar di tahun 2022, dipastikan melabrak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang mana Pasal 65 ayat (1) menyebutkan, “Gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil.” Bahkan, Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 101 ayat (3) Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota juga tidak bisa diimplementasikan. Tetapi perlu disadari juga, bahwa tidak semua kabupaten/kota di Aceh akhir masa jabatan kepala daerah di tahun 2022. Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Aceh Selatan dan Kota Subulussalam masa jabatannya kepala daerah berakhir pada tahun 2023. Kita berharap hadirnya perubahan UU No.7 Tahun 2017 nantinya, tidak luput mengakomudir kekhususan yang telah ada di Aceh. Bisa menjadi semangat nyata dalam memberi kepercayaan terhadap daerah serta ikut menjaga damai di bumi serambi mekah. Sekarang, RUU Pemilu masih draf rancangan, terbuka lebar penambahan dan pengurangan pasal-pasal yang telah ada. Berbagai kemungkinan bisa terjadi dalam perumusannya di Senayan. Sumber https://www.acehtrend.com/ Telah di Posting di : https://www.acehtrend.com/news/mengawal-revisi-ruu-pemilu/index.html pada 11 Juni 2020 Muhammad Usman, M.Ag adalah anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Utara. Bisa dihubungi melalui email: pena.usman@gmail.com


Selengkapnya