Opini

40

Revisi UUPA dan Penguatan Parlok

Muhammad Usman, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan KIP Aceh Utara PROSES revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, atau lebih populer dengan sebutan UUPA sedang bergulir di tingkat Nasional. Badan legislasi (Baleg) DPR RI, telah menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pertama di hari Kamis (11/9/2025) untuk menerima masukan dan pendapat terkait revisi UU Pemerintah Aceh ini. Sontak, informasi tersebut membuat riang-gembira segenap publik di Aceh, sebab kita paham bersama, kelembagaan DPR RI di Senayan sedang dirundung oleh berbagai persoalan pasca demonstrasi 25-30 Agustus lalu.Revisi dinilai sebagai kebutuhan mutlak, pascadua dekade perdamaian Aceh. Patut kita syukuri, revisi UUPA menjadi program prioritas kumulatif terbuka 2025, merupakan perjuangan panjang banyak pihak; serta pengawalan ketat dari ketua Forbes DPR dan DPD RI asal Aceh TA Khalid. Ketua Baleg, Bob Hasan menyampaikan “bahwa revisi UU Pemerintahan Aceh merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), serta penyelarasan dengan regulasi nasional seperti: UU Pemda, UU Pemilu, dan UU Desa”. Kehadiran Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Muhammad Jusuf Kalla (JK); tokoh inisiator perdamaian Aceh, dalam RDPU memberikan citra positif terhadap revisi ini. JK hadir bersama mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin; delegasi yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam nota kesepahaman perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka, di Finlandia 15 Agustus 2005 (Serambi Indonesia, 12/9/2025). JK dan Hamid, dibutuhkan untuk memahami aspek historis dan hal-hal penting lainnya, supaya menjadi perhatian dalam revisi UUPA agar tidak melenceng dari nota kesepahaman (MoU Helsinki). Baleg DPR, juga perlu menghadirkan delegasi GAM; agar bisa memotret historis dengan berimbang dan lebih mendalam terhadap poin-poin MoU maupun kekurangan dari UUPA yang sudah berjalan. Arah revisi Pertanyaan mendasar, apakah revisi UUPA dilakukan secara mayor atau minor?  Membaca draf usulan badan keahlian DPR RI, merupakan revisi minor (hanya menyasar 22 dari 273 Pasal yang termaktub dalam UUPA). Akan tetapi, revisi UUPA “berpotensi” berkembang menjadi revisi mayor, karena dinamika kebutuhan dalam pembahasan nantinya. Penyempurnaan peraturan bisa menjadi ruang kompromi politik hukum yang sarat kepentingan, kesiapan dan persiapan pemerintah Aceh/maupun pemangku kepentingan, perlu terus melakukan langkah advokasi secara bersama-sama. Revisi UUPA haruslah inklusif dan melibatkan berbagai pihak, guna mendapatkan masukan dan legitimasi publik. DPRA juga menyiapkan usulan arah revisi dan telah diserahkan kepada Pemerintah Aceh. Versi usulan DPRA terdapat 10 pasal untuk direvisi, dan  penambahan 1 pasal, yaitu: Pasal 1 perubahan pada angka 21 dan 22, Pasal 7,  Pasal 11, Pasal 160, Pasal 165, Pasal 183, Pasal 192, Pasal 194, Pasal 235, Pasal 270, serta Pasal 251A sebagai pasal penambahan. Pasal perpanjangan dana otonomi khusus (Otsus), sebesar 2,5 persen dan peruntukannya tidak ada batas waktu (Pasal 183) menjadi fokus banyak pihak. Usulan pemerintah Aceh, bisa dikategorikan skema revisi minor, karena hanya menyasar 10 pasal saja. Pandang JK maupun Hamid dalam RDPU, bahwa MoU Helsinki adalah batas minimal kesepahaman kedua belah pihak, revisi wajib tidak mengurangi poin yang telah ada, bila ditambahkan dalam semangat penyempurnaan, maka itu lebih baik, bahkan kalau meminjam istilah dalam Islam sunnah muakkad. Masukan perbaikan Menurut penulis, revisi perlu menyasar peningkatan status partai politik lokal, supaya tidak terjadi “diskriminasi” hak dalam pencalonan pemilu untuk level DPR RI. Dalam nota kesepahaman, partisipasi politik diatur pada poin 1.2.1 yang menjelaskan bahwa “…Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik lokal yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional.” Kemudian, dalam UU/11/2006, partai politik lokal diterangkan dalam Pasal 95 dengan bunyi “ketentuan lebih lanjut mengenai partai politik lokal diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Jumlah penyebutan kata partai politik lokal dalam UUPA ditemukan sebanyak 23 kali. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh, pada Maret 2007. PP tersebutlah mengklarifikasi proses pembentukan, detail yang berhubungan dengan partai politik lokal di Aceh. Berdasarkan peraturan tersebut, partai politik lokal hanya mengikuti pemilu legislatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta boleh menominasi calon dalam pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati maupun wali kota. PP tersebut, menutup ruang bagi partai politik lokal di Aceh untuk ikut pemilu DPR RI. Namun, PP juga membuka ruang yang lebar; bagi keanggotaan partai politik lokal untuk merangkap keanggotaan dengan partai nasional, agar mereka dapat mengikuti pemilu legislatif di tingkat nasional. Konteks hari ini, PP 20/2007 terasa “diskriminatif”. Kenapa diskriminatif? Karena partai politik lokal dibatasi ruang lingkup dalam mengikuti proses pemilu, hanya level daerah. Padahal, secara terminologi partai politik dan partai politik lokal, keduanya memiliki maksud yang sama yaitu organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah “memungkinkan” partai politik lokal diberi kewenangan untuk mencalonkan DPR menuju Senayan. Maka, untuk menjawab hal tersebut, perlunya kita kembali belajar pada sejarah Pemilu 1955; sebagai salah satu historis bangsa Indonesia. Pengalaman masa lalu Dalam Pemilu 1955, partai politik lokal sudah dikenal di masa itu, bahkan mereka berhasil mengirimkan perwakilan untuk kursi DPR maupun kursi keanggotaan Konstituante. Sejarah Partai Persatuan Dayak (PPD) di Kalimantan Barat merupakan partai politik lokal yang dibentuk untuk mempersatukan ketujuh suku induk Dayak yaitu: Ot Danum, Kayaan, Iban, Bidayeuh, Punan, Taman Ambaloj, dan suku di Borneo Utara. PPD berjuang untuk melawan pembodohan, pemiskinan dan diskriminasi hak. Hasil Pemilu 1955, Partai Persatuan Dayak menguasai posisi politik di tingkat daerah, memiliki perwakilan untuk DPR atas nama F.C Palaunsuka, dan tiga orang untuk di Konstituante yaitu: J.C Oevaang Oeray, Wilibrordus Hittam, dan Agustinus Djelani (Baca: M. Rikaz Prabowo, Eksistensi Partai Persatuan Dayak Pada Pemilu 1955). Sayangnya partai ini dibubarkan pada tahun 1959, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan larangan terhadap partai politik yang bersifat etnis. Pengalaman masa lalu ini, tinggal diadopsi kembali dalam revisi UUPA untuk peningkatan status partai politik lokal di Aceh. Harapan ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk menghadirkan kehormatan (dignity) politik Aceh. Bila hal ini bisa terwujud, maka partai politik lokal di Aceh harus membuka kantor perwakilan di Jakarta, untuk memudahkan pengurusan administrasi dalam pencalonan anggota DPR RI karena langsung berhubungan dengan KPU RI di pusat. Telah di Publis di Serambi Indonesia Pada Tanggal 6 Oktober 2025 https://aceh.tribunnews.com/opini/990261/revisi-uupa-dan-penguatan-parlok?page=all&s=paging_new


Selengkapnya
557

PILKADA CALON TUNGGAL

PEMILIHAN kepada daerah (Pilkada) serentak 2024, merupakan gelombang kelima/terakhir dalam upaya menyatukan pemilihan secara serentak nasional. Pilkada merupakan ruang partisipasi publik dalam bidang politik guna menentukan gubernur/wakil gubernur di 37 provinsi, bupati/wakil bupati serta wali kota/wakil wali kota pada 508 daerah kabupaten/kota seluruh Indonesia. Meski begitu, perlu dipahami juga, ada beberapa daerah khusus yang kepada daerah tidak dipilih melalui Pilkada. Pemilihan gubernur/wakil gubernur untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tidak dilakukan dengan Pilkada, melainkan dengan penetapan lantaran merujuk pada UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal yang hampir sama, tidak melakukan pemilihan kepada daerah setingkat bupati maupun wali kota adalah Daerah Khusus Jakarta Karena berdasarkan Pasal 13 ayat (3) UU nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) disebutkan wali kota/bupati diangkat dan diberhentikan oleh gubernur, kedua daerah tersebut memang memiliki aturan main dan keistimewaan tersendiri. Di Provinsi Aceh, Pilkada meliputi tingkat provinsi dan 23 kabupaten/kota. partai politik peserta pemilihan baik partai lokal maupun nasional juga sedang menjaring kader, tokoh yang bakal diusung nantinya. Tentunya bagi pasangan calon, yang menggunakan jalur partai politik, harus memenuhi persyaratan perolehan paling kurang 15 persen (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRA/DPRK atau 15 % (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRA/DPRK di daerah yang bersangkutan dalam Pemilu terakhir(Qanun Aceh 12/2016). Adapun jadwal pendaftaran calon hanya memiliki tiga hari yaitu dimulai 27-29 Agustus 2024, hal ini sesuai dengan jadwal yang telah diatur dalam PKPU 8/2024 maupun SK KIP Aceh Nomor 7/2024. Jadwal pendaftaran tersebut, juga sama berlakunya bagi beberapa daerah di Aceh yang memiliki pasangan calon perseorangan (independen). Di tengah gencar-gencarnya persiapan partai politik dalam menjaring kader-kader terbaik untuk dicalonkan pada Pilkada serentak 2024, muncul juga isu adanya potensi satu pasangan calon tunggal untuk level gubernur Aceh dan beberapa kabupaten/kota. Sejarah kelahiran Satu pasangan calon/calon tunggal yang lebih sering dikenal dengan sebutan Pemilu kotak kosong, bukanlah hal yang baru dalam kancah perpolitikan Pilkada di Indonesia. Merunut ke belakang bahwa fenomena ini telah dimulai semenjak Pilkada serentak gelombang pertama pada tahun 2015 silam. Di kala itu, terdapat tiga kabupaten yang hanya memiliki satu pasangan calon yang memenuhi syarat yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Timor Tengah dan Kabupaten Blitar. Bahkan pada waktu itu, KPU telah melakukan perpanjangan waktu pendaftaran. Namun upaya perpanjangan yang ditempuh oleh KPU, tidak berdampak terhadap penambahan bakal pasangan calon yang mendaftar Namun di sisi lain, dalam UU/8/2015 dijelaskan, bahwa Pilkada baru bisa dilaksanakan jika sekurang-kurangnya terdapat dua pasangan calon, persoalan ini justru tidak ada jawaban secara hukum di kala itu. Lantaran terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum), maka muncul gugatan ke Mahkamah Konstitusi, yang pada akhirnya keluar putusan MK dengan Nomor: 100/PUUXIII/2015 yang menjadi asal muasal pengaturan pasangan calon tunggal. Seiring dengan itu, pembuat undang-undang telah melakukan perubahan (revisi) terhadap UU/8/2015 menjadi UU 10/2016, guna memperkuat landasan hukum keberadaan calon tunggal. Meningkat tajam Catatan Pilkada 2015 yang diselenggarakan pada 269 daerah; terdiri atas 9 provinsi, 260 kabupaten/kota, terdapat 3 kabupaten dengan satu pasangan calon. Selanjutnya saat Pilkada 2017 di 101 daerah; yaitu 7 provinsi dan 94 kabupaten/kota muncul calon tunggal 6 di tingkat kabupaten dan 3 pada tingkat kota dengan jumlah 9 daerah terdapat calon tunggal. Lalu Pilkada 2018 yang diikuti oleh 171 daerah, yang terdiri atas 17 provinsi dan 154 kabupaten/kota muncul calon tunggal sebanyak 13 daerah kabupaten dan tiga di tingkat kota, maka jumlahnya menjadi 16 pasangan calon tunggal. Sedangkan Pilkada 2020, di masa pandemi sebagai gelombang keempat Pilkada serentak, dari 270 daerah pemilihan, yang terbagi dalam 9 provinsi dan 261 kabupaten kota, terdapat 25 pasangan calon tunggal yang terbagi dalam 21 calon tunggal tingkat kabupaten, dan 4 di tingkat kota. Bila kita analisa data di atas, mulai dari gelombang pertama hingga gelombang keempat Pilkada serentak (2015-2020), peningkatan jumlah calon tunggal meningkat drastis. Sesuatu yang tidak baik dalam kehidupan demokrasi kita, tentu ada persoalan yang membuat fenomena ini muncul. Calon tunggal seolah-olah menjadi kegemaran baru partai politik, dalam upaya menang lebih awal, sebelum proses pemungutan dan penghitungan suara berlangsung. Sebab kalau kita baca hasil Pilkada pada daerah-daerah yang cuma memiliki calon tunggal, hasilnya semua calon tunggal akhirnya menang mengalahkan kotak kosong. Skema pencalonan Secara garis besar, ada tiga kondisi yang mempengaruhi potensi menghadirkan pasangan calon tunggal dalam Pilkada. Titik tumpu proses tersebut berada dalam lingkup teknis pencalonan bakal pasangan calon. Tiga kondisi tersebut bisa terbagi dalam fase pendaftaran, penelitian dan setelah penetapan, PKPU 8/2024, Pasal 134, 135 dan 136. Pertama, dalam fase pendaftaran hanya terdapat satu pasangan calon yang melakukan pendaftaran. Pada kondisi ini, KIP Aceh/KIP kabupaten/kota, berkewajiban melakukan perpanjangan pendaftaran kembali; mengupayakan pasangan calon tidak hanya satu saja. Setelah diperpanjang dan ditutup masa perpanjangan pendaftaran, bila tidak ada calon baru mendaftar, maka dipastikan Pilkada melawan kotak kosong. Kedua, fase penelitian, terdapat pasangan calon yang mendaftar lebih dari satu pasangan calon. Tetapi, sesudah melewati proses seleksi administrasi hanya satu pasangan calon yang memenuhi syarat, sedangkan pasangan yang lain memiliki kecacatan administrasi serta tidak memperbaikinya. Hal lain yang bisa saja terjadi adalah partai politik atau gabungan partai politik tidak mengajukan/menyodorkan calon penganti pada masa pengajuan calon pengganti. Maka dapat dipastikan akan terjadi Pilkada dengan satu pasangan calon, atau lebih dikenal dengan istilah lawannya kotak kosong Ketiga, fase setelah penetapan calon, terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan atau terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap. Sehingga hanya menyisakan satu pasangan calon. Kondisi ini mengakibatkan Pilkada dengan kotak kosong. Kalau begitu, bila melihat tiga fase di atas, maka pasangan calon tunggal bisa muncul karena terdapat pasangan calon yang mendaftar tetapi kurang serius dalam melewati proses pendaftaran/kurang serius/tidak lengkapnya dokumen pendaftaran atau dokumen bakal calon, sehingga ditetapkan tidak memenuhi syarat (TMS). Bila pun ada daerah di Aceh yang hanya satu pasangan calon saja, maka kemenangan akan dicapai bila pasangan calon tunggal tersebut mendapatkan suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) dari suara sah. Bila gagal, alias menang kotak kosong, maka Pilkada akan digelar pada gelombang selanjutnya atau 5 tahun ke depan.   Telah di Posting di : https://aceh.tribunnews.com/2024/08/05/pilkada-calon-tunggal pada tanggal 5 Agustus 2024


Selengkapnya
1301

Urgensi Aplikasi Siakba

SIAKBA atau Sistem Informasi Anggota KPU dan Badan Adhoc adalah satu aplikasi digital yang dipersiapkan oleh KPU dalam rangka melaksanakan salah satu tahapan penting dalam Pemilu tahun 2024. Tahapan ini adalah tahapan pendaftaran/rekrutmen penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan atau disebut dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan di tingkat gampong/desa yang disebut dengan Panitia Pemungutan Suara (PPS). SIAKBA hadir di tengah tengah pelaksanaan verifikasi faktual kepengurusan dan keanggotaan partai politik. Pengenalan Siakba kepada KPU/KIP Kabupaten Kota telah dilaksanakan secara bertahap oleh KPU. Tahap awal dimulai dengan melakukan uji coba penggunaan Siakba melalui KIP Aceh, untuk mengetahui sejauh mana aplikasi ini berperan dalam tahapan rekrutmen Badan Adhoc. KIP Aceh sendiri juga melakukan rapat koordinasi dengan seluruh KIP kabupaten/kota dalam upaya pengenalan aplikasi ini. Tak berhenti di situ saja, KPU kembali melakukan rapat koordinasi pembentukan Badan Adhoc penyelenggara pemilu tahun 2024, serta peluncuran aplikasi Siakba dan Sistem Informasi Pegawai (Simpeg KPU) di Kendari, Sulawesi Tenggara, pada tanggal 20 Oktober 2022. Aplikasi Siakba sangat berperan dalam rangka rekrutmen Badan Adhoc. Aplikasi ini akan mempermudah tugas dan fungsi Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan SDM KIP Kabupaten Aceh Utara, serta Subbagian Hukum dan SDM. Aplikasi ini juga dipersiapkan dalam rangka pendataan penyelenggara pemilu yang lebih baik untuk masa mendatang. Aplikasi ini juga digunakan dalam rangka proses penggantian antar waktu (PAW) anggota KPU maupun Badan Adhoc. Pasca peluncuran Siakba, KPU telah mengeluarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 438 Tahun 2022 tentang Penetapan Aplikasi Sistem Informasi Anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Adhoc sebagai aplikasi khusus Komisi Pemilihan Umum. Dapat disimpulkan, bahwa salah satu penekanan dalam keputusan ini bahwa aplikasi Siakba ini merupakan aplikasi pendukung dalam memfasilitasi pelaksanaan seleksi badan Adhoc dan membantu pengelolaan data Badan Adhoc. Peraturan Komisi Pemilihan Umum ini, diterbitkan di saat munculnya berbagai macam pertanyaan terkait rekrutmen Badan Adhoc dan penggunaan Siakba yang belum ditetapkan dalam aturan khusus. Akhirnya pada tanggal 8 November 2022, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2022 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Adhoc Penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota yang ditetapkan pada tanggal 2 November 2022 resmi dipublikasi. Ini menjawab banyaknya pertanyaan yang menjadi perhatian selama ini. Penggunaan Siakba pun ditekankan dalam PKPU tersebut, namun tata cara dan mekanisme penggunaannya masih akan menunggu pedoman teknis yang nantinya akan dikeluarkan oleh KPU. Dengan demikian, bagi seluruh warga dalam Kabupaten Aceh Utara, mari persiapkan diri anda untuk menjadi bagian dari penyelenggara Pemilu 2024 serta selalu menjaga integritas.   Penulis adalah: Yuliana Kasubbag Hukum dan SDM


Selengkapnya
7

Tantangan Pemilu 2024

OLEH MUHAMMAD USMAN, Anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Utara  PEMILU 2024 merupakan proses politik terbesar di Indonesia. Pemilu sebagai ajang tempur ‘positif’ bagi pemilih dan partai politik. Pemilih diberikan hak penuh untuk menentukan pasangan presiden, DPR-RI, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dengan asas luber dan jurdil, pemilu menjadi sarana untuk keterlibatan pemilih (masyarakat), dalam menentukan figur pemimpin pada setiap level untuk lima tahun sesudahnya. Pada akhirnya, siapa pun yang terpilih, akan berhak mewakili kita secara fisik maupun arah kebijakan. Bagi partai politik, Pemilu 2024 menjadi ruang menyodorkan calon pemimpin kepada pemilih. Bila dihitung mundur jadwal hari pemungutan suara Pemilu 2024, hanya berjarak 610 hari semenjak KPU RI melakukan peluncuran tahapan pada malam 14 Juni 2021. Urgensi Pemilu 2024 bagi Parnas maupun Parlok menjadi “tiket masuk” untuk mudah dalam pencalonan gubernur, bupati maupun wali kota pada Pilkada 2024, karena menggunakan parliamentary threshold hasil Pemilu 2024. Pemungutan suara Pilkada serentak 2024 pada 27 November 2024, hanya berjarak 287 hari dari tanggal 14 Februari 2024. Terlihat jelas waktu yang singkat bagi parpol, untuk memenangkan Pemilu, agar leluasa menuju Pilkada. Tentu tidak dapat dipungkiri lagi, Pemilu 2024 pasti memiliki tantangan yang lebih kompleks dan dinamis, karena pada saat yang bersamaan, kita dihadapkan dengan impitan tahapan antara Pemilu dan Pilkada. KPU RI menyebutnya tahapan yang beririsan. KPU RI telah menetapkan PKPU Nomor 3 Tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, yang menjadi pedoman bersama. Di dalam PKPU tersebut, terdapat 11 tahapan mulai dari: (1) Perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu; (2) Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar Pemilih; (3) Pendaftaran dan verifikasi peserta Pemilu; (4) Penetapan peserta Pemilu; (5) Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; (6 ) Pencalonan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota; (7) Masa kampanye; (8) Masa tenang; (9) Pemungutan dan penghitungan suara; (10) Penetapan hasil Pemilu; dan (11) Pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Selanjutnya, jikalau adanya putaran kedua Pemilu presiden dan wakil presiden, sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 4 PKPU 3, maka hari pemungutan suara untuk tahap kedua ini, akan dilaksanakan pada hari Rabu 26 Juni 2024. Peran PJ gubernur Aceh Dalam proses pemilu di berbagai dunia tidak terkecuali Indonesia, salah satu yang ikut disoroti oleh publik adalah netralitas dari Aparatur Sipil Negara (ASN). Menyangkut hal ini, Mahkamah Konstitusi telah memberi catatan dalam pertimbangannya, saat memutuskan perkara 15/PUU-XX/2022 terkait pengujian Pasal 201 ayat 10 dan 11. Masukan MK ini, perlu dilihat dari kacamata menjaga ‘marwah’ birokrasi/ ASN selama masa jabatan, supaya agar tidak menimbulkan disrupsi netralitas. MK menekankan bahwa “penjabat kepala daerah (PJ) harus mampu menjalankan fungsi yang diamanatkan dalam UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara; salah satunya adalah asas netralitas”. Tuntutan setiap pegawai ASN tidak boleh berpihak kepada pengaruh siapa pun, dalam mempengaruhi proses dan hasil dari Pemilu. PJ Gubernur Aceh merupakan bagian dari ASN, memiliki tanggung jawab untuk mengontrol seluruh ASN di Aceh untuk netral. Dengan demikian roda penyelenggaraan pemerintah daerah akan berjalan normal serta proses Pemilu juga berjalan pada poros aturan yang telah ditetapkan. Pengalaman pada Pilkada 2020 di 270 daerah, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) bekerja sama dengan Bawaslu RI, menemukan sebanyak 1. 399 orang ASN dilaporkan atas pelanggaran netralitas, sebanyak 1. 104 telah diproses oleh KASN dengan hasil akhir 122 tidak terbukti melanggar, 982 melanggar dan mendapat rekomendasi KASN serta 670 sudah dijatuhi hukuman oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Kemudian, ada 5 (lima) jenis pelanggaran yang paling dominan dilakukan yaitu: kampanye/sosialisasi media sosial 27.1 persen, kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan kepada salah satu calon/bakal calon 21.1 % , berfoto bersama dengan bakal calon/pasangan yang mengindikasikan keberpihakan 11.7 % , ikut serta hadir dalam deklarasi pasangan bakal calon/calon 9.2 % , dan melakukan pendekatan ke parpol untuk pencalonan dirinya atau orang lain 8.2 % . Selanjutnya sebanyak 5 jabatan paling top di tataran ASN yang melakukan pelanggaran terdiri dari: 24.8 % pimpinan tinggi, 16.8 % fungsional, 21.2 % kepala wilayah (camat/lurah), 14.2 Telah di Publis di Serambi Indonesia pada 11 Agustus 2022 https://aceh.tribunnews.com/2022/08/11/tantangan-pemilu-2024 


Selengkapnya
973

Pilkada Aceh 2022 & Pemda yang Mendua Hati

Oleh Muhammad Usman Dalam situasi pandemi Covid-19, kita masih mampu melakukan berbagai rutinitas kenegaraan. Salah satu kegiatan kenegaraan tersebut adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2020 di 270 daerah pemilihan, guna memastikan lahirnya pemimpin di 9 provinsi, 225 kabupaten, dan 36 kota. Hari pemungutan suara pun telah ditetapkan, melalui sebuah Keputusan Presiden (Keppres) No. 22 tahun 2020. Pemungutan suara tepat pada hari Rabu, 9 Desember 2020; bertepatan dengan hari anti korupsi sedunia. Mungkin Presiden Jokowi memilih tanggal 9 (sembilan) tersebut, agar menjadi ‘peringatan keras’ bahwa Indonesia harus keluar dari berbagai perilaku koruptif. Pilkada merupakan salah satu mekanisme yang dikenal dalam hukum dalam menentukan kepemimpinan, pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam ajaran Islam, pengangkatan pemimpin merupakan bahasan yang penting. “Pemimpin diharapkan mampu melindungi masyarakat dari ketidakadilan, memutuskan konflik dalam warga, tanpa pemimpin umat manusia dalam keadaan kacau-balau (chaos),” (Al-ahkam as-sulthaniyyah, Imam Al-Mawadi). Para pihak yang terlibat langsung dalam pilkada tahun 2020 seperti; penyelenggara, partai politik, tim kampanye, media hingga masyarakat pemilih akan memiliki pengalaman dan kenangan tersendiri terhadap hasil, problematika, suka-cita serta hiruk-pikuk yang terjadi dalam pilkada sebab berlangsung di tengah situasi pandemi. Pengalaman para pihak akan menjadi pengetahuan baru di masa mendatang. Selain itu, penyelenggara di bawah jajaran Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), yang sedang tidak melaksanakan Pilkada tahun 2020, juga sedang mengambil pengalaman/ pembelajaran berupa; bagaimana proses tahapan di tegah pandemi? Memahami tantangan dan masalah yang timbul serta berbagai hal lainnya. Ini dilakukan sebagai upaya memetik pembelajaran (mauidzah). Jajaran KPU di Aceh juga turut belajar agar pada Pilkada tahun 2020, sebagai media pembelajaran, dan berguna nantinya dalam pelaksanaan Pilkada Aceh tahun 2022 (bila tidak bergeser). Pilkada Aceh? Seyogyanya memahami seluk-beluk proses dan tahapan di luar Aceh penting sebagai bahan catatan dan pembelajaran bersama, bagi seluruh stakeholder di Aceh. Dalam analisa penulis, setidaknya ada tiga alasan kenapa Pilkada Aceh berpotensi besar tetap dilangsungkan di tahun 2022. Pertama, adanya regulasi dengan rujukan pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Ditambah lagi pendapat pakar hukum dan organisasi masyarakat sipil (OMS) di Aceh, memandang Pilkada Aceh tahun 2022 memiliki landasan hukum yang kuat, hal ini terungkap dalam kegiatan focus group discussion (FGD) bertema ‘Menuju Pilkada Aceh Serentak’ di Hotel Grand Arabia, yang diselenggarakan oleh KIP Aceh, di Banda Aceh, Rabu (18/11/2020). Pendapat pakar (intelektual/ahli) dan respon OMS Aceh, menjadi aspek pengungkit positif dalam penentuan keputusan terkait Pilkada Aceh; bahkan Pemerintah Pusat bisa menggunakan ini sebagai kaca mata dalam melihat Aceh. “Debat multi tafsir hukum; regulasi politik di Aceh sudah menjadi persoalan klasik, dan terus saja terjadi, maka Aceh selalu unik dikaji dalam isu politik” Taufik Abdullah (Pengamat Politik dari Universitas Malikussaleh), dalam diskusi warung kopi di Lhoksukon. Kedua, dinamika RUU Pemilu. Rancangan undang-undang pemilu yang sedang digodok oleh DPR-RI juga masih memberi ruang bagi pilkada di tahun 2022 dan 2023. Sesuai dengan draf versi 14 Juli 2020, disebutkan terkait pilkada hasil pemilihan 2017 berlangsung di tahun 2022 dan Pilkada hasil pemilihan 2018 diselenggarakan pada tahun 2023, (Baca: Pasal 731 ayat 1, 2 dan 3). Seandainya pasal ini tidak terjadi perubahan lagi, berarti keberadaan pasal tersebut akan memperkuat maksud pasal 65 ayat (1) UUPA. Adapun alasan ketiga, terlihat keseriusan lembaga legislatif di Aceh. Hal ini terbukti dengan penyampaian surat berakhirnya masa jabatan gubernur/wakil Gubernur Aceh periode 2017-2022 pada 5 Juli 2022 mendatang, oleh DPRA kepada KIP Aceh. Keseriusan yang sama pula, telah ditunjukkan oleh segenap para pimpinan DPR Kabupaten/kota di Aceh, contohnya pimpinan DPRK Aceh Utara telah menyurati KIP Aceh Utara pada 14 September 2020, terkait pemberitauan berakhir masa jabatan bupati yang sekarang menjabat. Langkah Penyelenggara Guna menjawab regulasi kekhususan Aceh (UUPA) dan keseriusan DPRA dan seluruh DPRK di Aceh, penyelenggara, KIP Aceh maupun KIP kabupaten/kota telah melakukan penyusunan kebutuhan anggaran, serta mengajukannya kepada pemerintah daerah (Pemda). Kecekatan penyelenggara dalam penyusunan anggaran supaya tidak terjadi kepanikan nantinya; (bek lagee ureung kut pade lam reudok), ungkapan hadih maja (peribahasa) yang melarang kita sebagai bangsa Aceh melakukan sesuatu dalam ketergesa-gesaan. Islam juga melarang manusia melakukan sesuatu dalam keadaan tergesa-gesa, sebab tabiat demikian termasuk kategori akhlak tercela. Perlu diingat juga, kata wate trôh kapai, barô pula lada, filosofinya penekanan dalam mengerjakan sesuatu harus memiliki perencanaan yang matang. Kematangan persiapan akan memberikan kualitas hasil yang baik pula. Respon Pemda Di sisi lain, respon kebijakan pemerintah daerah (Pemda) dalam penyediaan anggaran pilkada di Aceh tidak sama dan beragam. Informasinya, ada Pemda yang berani menganggarkan, ada yang hanya mengalokasikan dalam jumlah terbatas, bahkan ada juga yang tidak mengakomodir sama sekali. Alasan utama yang disampaikan oleh pemerintah daerah adalah, karena belum ada kejelasan regulasi Pilkada Aceh tahun 2022 serta belum ada perintah dari tingkat di atas yang lebih tinggi. Sikap ini seperti kebijakan “mendua hati” dalam merespon UUPA bahkan terkesan anomali. Padahal diketahui bersama, ada dua unsur yang mesti diperhatikan dalam penganggaran tahapan pilkada, pertama dana harus cukup, kedua anggaran haruslah dapat dicairkan tepat waktu. Selain itu karena sekarang sedang masa pandemi covid-19, postur anggaran perlu mengakomodir situasi pandemi. Pilkada Aceh berpotensi berhimpitan dengan Covid-19, maka angggaran pilkada nantinya perlu menjawab protokol kesehatan. Pada level Tempat Pemungutan Suara (TPS) saja, sudah terdapat 12 peralatan protokol kesehatan mulai dari: tempat mencuci tangan, hand sanitizer, sarung tangan plastik untuk pemilih, masker, face shield, tempat sampah, alat pengkur suhu, sarung tangan medis untuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), disinfektan lokasi pemilih, Alat Pelindung Diri (APD), tinta tetes, dan ruangan khusus bagi pemilih bersuhu 37,3 derajat celcius (Kompas, 21/11/2020). Ini hanya di level TPS pada hari pemungutan suara, belum lagi kebutuhan protokol kesehatan pada setiap tahapan lainnya. Guna mengakhiri polemik debat jadwal, diharapkan para pemangku kepentingan untuk segera duduk bersama, guna memastikan payung hukum pilkada Aceh. Apapun keputusan yang diambil, perlu mempertimbangkan sensitifitas kekhususan Aceh sebagai daerah pasca konflik guna menjaga dan merawat perdamaian Aceh. Sumber www.acehtrend.com Telah di Posting di : https://www.acehtrend.com/news/pilkada-aceh-2022-pemda-yang-mendua-hati/index.html pada tanggal 10 Desember 2020 Penulis adalah anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Utara. Bisa dihubungi melalui email: pena.usman@gmail.com


Selengkapnya
515

Mengintip Substansi RUU Pemilu

Oleh Muhammad Usman Kabar Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) telah memasuki tahap sinkronisasi dan harmonisasi di Badan Legislasi (Banleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung menyampaikan, RUU Pemilu diharapkan rampung pada pertengahan 2021. Tugas Komisi II, sebagai pencetus (inisiatif) bisa “dianggap” telah selesai dalam penyusunan substansi, selanjutnya pembahasan lanjutan berada di Badan Legislasi sebelum dibawa dalam sidang paripurna. Walaupun demikian, ada juga beberapa fraksi/anggota DPR RI yang mendorong pembahasan rancangan ini ditunda sampai usai pandemi Covid-19 atau memandang tidak diperlukan revisi terhadap UU Pemilu maupun UU Pilkada ‘sebab UU yang lama masih relevan digunakan’. Dalam rekaman publik, draf RUU Pemilu telah mengalami beberapa perubahan, baik dari sisi jumlah pasal maupun substansi. Para penyelenggara pemilu, pegiat isu kepemiluan dan demokrasi mengikuti setiap perubahan yang terjadi dalam proses RUU ini dilahirkan, bahkan ikut memberi masukan guna menghadirkan demokrasi subtansial yang lebih baik di Indonesia. Catatan penulis dalam perkembangan mulai April 2020 hingga Januari 2021, RUU Pemilu punya empat kali bentuk perubahan draf hasil pembahasan demi pembahasan di tingkat DPR. Jejak tersebut dimulai dari draf Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR per 9 April 2020, kemudian draf tanggal 6 Mei 2020, selanjutnya draf pemutakhiran 14 Juli 2020, dan terakhir draf pemutakhiran 26 November 2020. Protret Substansi Lalu, apa yang terpotret berdasarkan draf pemutakhiran 26 November 2020? Pertama, pembagian sistem pemilu nasional dan daerah. Dalam ketentuan umum disebutkan, pemilu nasional adalah pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota. Pemilu nasional terdapat lima jenis surat suara, persis sama seperti pemilu tahun 2019 lalu. Menyangkut hari pemungutan suara untuk pemilu nasional tergabung pada waktu yang bersamaan, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemungutan suara pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (Pasal 201, 206 ayat 3, 220, 226 ayat 3, 240 ayat 3 dan 475 ayat 1). Sedangkan pemilu daerah merupakan pemilu untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati/Wali Kota dan Wakil Wali Kota, pemungutan suara untuk dua jenis surat suara pemilu daerah, juga pada waktu yang bersamaan (Pasal 253 dan 475 ayat 2). Desain yang terbangun adalah 5 banding 2 (lima jenis kertas suara pemilu nasional dan dua jenis untuk pemilu daerah). Pemilu nasional pertama diselenggarakan di tahun 2024, sedangkan pemilu daerah berada di tahun 2027 (Pasal 734 ayat 1 dan 2). Kedua, ambang batas parlemen (parliamentary threshold), akan berlaku secara berjenjang. Tingkat nasional sebanyak 5% (lima persen), provinsi 4% (empat persen) sedangkan kabupaten/kota 3% (tiga persen). Terjadi peningkatan dari 4% dari pemilu 2019 menjadi 5% untuk level DPR-RI. Hal yang baru, pemberlakuan ambang batas parlemen untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dulu level provinsi ke bawah tidak mengenal ambang batas. Ketiga, proporsional terbuka, untuk pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota menggunakan sistem proporsional terbuka (Pasal 206, 226 dan 240). Kalau dibaca draf tanggal 9 April 2020, draf tanggal 06 Mei 2020 serta draf tanggal 14 Juli 2020, sistem pemilu wakil rakyat hendak didorong menjadi proporsional tertutup. Proporsional terbuka akan membuka ruang bagi pemilih untuk langsung memberikan suaranya kepada calon tertentu dalam partai tertentu serta dihitung berdasarkan perolehan suara terbanyak. Keempat, kontroversi syarat anggota KPU. Dalam pasal 16 ayat 7 disebutkan Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan partai politik secara proporsional berdasarkan hasil pemilu sebelumnya. Menurut Titi Anggraini, usulan ini sebenarnya cerita lama, sebab pernah diusulkan pada saat pembahasan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. pada saat itu usulan ini gagal karena berbenturan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan putusan MK nomor 81/PUU-IX/2011. Pasal ini mendatangkan kemunduran bagi KPU dan mengembalikan kondisi kegaduhan Pemilu 1999 (Republika.co.id, 27/01/2021). Kalau dipotret perjalanan RUU Pemilu, muncul pasal ini dalam draf pemuktahiran 14 Juli 2020, beberapa fraksi memberikan masukan terhadap rumusan pasal ini. Pada posisi Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) syarat komposisi parpol tidak disinggung sama sekali. Kelima, terkait badan khusus penyelesaian sengketa pemilu. Badan ini dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa kepemiluan (Pasal 730 ayat 1). Adapun yang menjadi kewenangan dari badan ini: pertama, menyelesaikan perkara pelanggaran pemilu nasional dan daerah; kedua, menyelesaikan perkara sengketa proses pemilu dan pemilu daerah; ketiga, perselisihan hasil pemilu legislatif dan hasil pemilu daerah (Pasal 30, ayat 2). Sedangkan hakim badan tersebut bersifat adhoc. Keenam, normalisasi pilkada. Norma ini juga menjadi hal penting dalam RUU Pemilu. Pilkada akan digelar di tahun 2022 untuk mengantikan kepala daerah hasil Pilkada 2017 dan 2023 untuk menggantikan kepala daerah hasil pemilihan 2018 (Pasal 731 ayat 2 dan 3). Bagaimana dengan Aceh? Jika pilkada Aceh tahun 2022 menunggu RUU Pemilu disahkan baru dijalankan, berpotensi “berisiko” terhadap bergesernya jadwal pilkada Aceh. Bahkan bisa saja Aceh terbawa dalam arus jadwal nasional. Kita bisa membaca dinamika politik di tingkat pusat terbagi dan terbelah pasca RUU Pemilu berada di Banleg DPR. Pandangan setiap fraksi terus beragam terhadap sejumlah norma yang diatur. Debat seperti ini biasanya akan butuh waktu yang panjang lantaran RUU Pemilu bukan saja membahas penjadwalan pemilu, tetapi banyak norma-norma lain untuk mengatur secara komprehensif tatanan demokrasi kita. Sepatutnya, titik bergerak pilkada Aceh bisa dimulai dari keputusan KIP Aceh dengan Nomor 1/PP.01.2-Kpt/11/Prov/I/2021, yang telah ditetapkan pada selasa 19 Januari 2020 di Banda Aceh. Pemangku kepentingan di Aceh perlu berdialog lebih lanjut dengan Komisi II DPR, Kemendagri, KPU RI, serta pihak-pihak lainnya untuk memastikan tahapan pilkada Aceh bisa berjalan efektif sesuai dengan perintah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kendala yang sudah muncul, dukungan anggaran untuk proses pelaksanaan pilkada di Aceh belum ada kejelasan. Semoga cepat ditemukan jalan keluar yang berkekuatan hukum. Sumber www.acehtrend.com Telah di Posting di : https://www.acehtrend.com/news/mengintip-substansi-ruu-pemilu/index.html pada tanggal 30 Januari 2021 Penulis adalah anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Utara. Bisa dihubungi melalui email: pena.usman@gmail.com.


Selengkapnya