
Mengintip Substansi RUU Pemilu
Oleh Muhammad Usman
Kabar Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) telah memasuki tahap sinkronisasi dan harmonisasi di Badan Legislasi (Banleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung menyampaikan, RUU Pemilu diharapkan rampung pada pertengahan 2021.
Tugas Komisi II, sebagai pencetus (inisiatif) bisa “dianggap” telah selesai dalam penyusunan substansi, selanjutnya pembahasan lanjutan berada di Badan Legislasi sebelum dibawa dalam sidang paripurna. Walaupun demikian, ada juga beberapa fraksi/anggota DPR RI yang mendorong pembahasan rancangan ini ditunda sampai usai pandemi Covid-19 atau memandang tidak diperlukan revisi terhadap UU Pemilu maupun UU Pilkada ‘sebab UU yang lama masih relevan digunakan’.
Dalam rekaman publik, draf RUU Pemilu telah mengalami beberapa perubahan, baik dari sisi jumlah pasal maupun substansi. Para penyelenggara pemilu, pegiat isu kepemiluan dan demokrasi mengikuti setiap perubahan yang terjadi dalam proses RUU ini dilahirkan, bahkan ikut memberi masukan guna menghadirkan demokrasi subtansial yang lebih baik di Indonesia.
Catatan penulis dalam perkembangan mulai April 2020 hingga Januari 2021, RUU Pemilu punya empat kali bentuk perubahan draf hasil pembahasan demi pembahasan di tingkat DPR. Jejak tersebut dimulai dari draf Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR per 9 April 2020, kemudian draf tanggal 6 Mei 2020, selanjutnya draf pemutakhiran 14 Juli 2020, dan terakhir draf pemutakhiran 26 November 2020.
Protret Substansi
Lalu, apa yang terpotret berdasarkan draf pemutakhiran 26 November 2020? Pertama, pembagian sistem pemilu nasional dan daerah. Dalam ketentuan umum disebutkan, pemilu nasional adalah pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota.
Pemilu nasional terdapat lima jenis surat suara, persis sama seperti pemilu tahun 2019 lalu. Menyangkut hari pemungutan suara untuk pemilu nasional tergabung pada waktu yang bersamaan, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemungutan suara pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (Pasal 201, 206 ayat 3, 220, 226 ayat 3, 240 ayat 3 dan 475 ayat 1).
Sedangkan pemilu daerah merupakan pemilu untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati/Wali Kota dan Wakil Wali Kota, pemungutan suara untuk dua jenis surat suara pemilu daerah, juga pada waktu yang bersamaan (Pasal 253 dan 475 ayat 2).
Desain yang terbangun adalah 5 banding 2 (lima jenis kertas suara pemilu nasional dan dua jenis untuk pemilu daerah). Pemilu nasional pertama diselenggarakan di tahun 2024, sedangkan pemilu daerah berada di tahun 2027 (Pasal 734 ayat 1 dan 2).
Kedua, ambang batas parlemen (parliamentary threshold), akan berlaku secara berjenjang. Tingkat nasional sebanyak 5% (lima persen), provinsi 4% (empat persen) sedangkan kabupaten/kota 3% (tiga persen). Terjadi peningkatan dari 4% dari pemilu 2019 menjadi 5% untuk level DPR-RI. Hal yang baru, pemberlakuan ambang batas parlemen untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dulu level provinsi ke bawah tidak mengenal ambang batas.
Ketiga, proporsional terbuka, untuk pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota menggunakan sistem proporsional terbuka (Pasal 206, 226 dan 240). Kalau dibaca draf tanggal 9 April 2020, draf tanggal 06 Mei 2020 serta draf tanggal 14 Juli 2020, sistem pemilu wakil rakyat hendak didorong menjadi proporsional tertutup. Proporsional terbuka akan membuka ruang bagi pemilih untuk langsung memberikan suaranya kepada calon tertentu dalam partai tertentu serta dihitung berdasarkan perolehan suara terbanyak.
Keempat, kontroversi syarat anggota KPU. Dalam pasal 16 ayat 7 disebutkan Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan partai politik secara proporsional berdasarkan hasil pemilu sebelumnya.
Menurut Titi Anggraini, usulan ini sebenarnya cerita lama, sebab pernah diusulkan pada saat pembahasan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. pada saat itu usulan ini gagal karena berbenturan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan putusan MK nomor 81/PUU-IX/2011. Pasal ini mendatangkan kemunduran bagi KPU dan mengembalikan kondisi kegaduhan Pemilu 1999 (Republika.co.id, 27/01/2021).
Kalau dipotret perjalanan RUU Pemilu, muncul pasal ini dalam draf pemuktahiran 14 Juli 2020, beberapa fraksi memberikan masukan terhadap rumusan pasal ini. Pada posisi Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) syarat komposisi parpol tidak disinggung sama sekali.
Kelima, terkait badan khusus penyelesaian sengketa pemilu. Badan ini dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa kepemiluan (Pasal 730 ayat 1). Adapun yang menjadi kewenangan dari badan ini: pertama, menyelesaikan perkara pelanggaran pemilu nasional dan daerah; kedua, menyelesaikan perkara sengketa proses pemilu dan pemilu daerah; ketiga, perselisihan hasil pemilu legislatif dan hasil pemilu daerah (Pasal 30, ayat 2). Sedangkan hakim badan tersebut bersifat adhoc.
Keenam, normalisasi pilkada. Norma ini juga menjadi hal penting dalam RUU Pemilu. Pilkada akan digelar di tahun 2022 untuk mengantikan kepala daerah hasil Pilkada 2017 dan 2023 untuk menggantikan kepala daerah hasil pemilihan 2018 (Pasal 731 ayat 2 dan 3).
Bagaimana dengan Aceh?
Jika pilkada Aceh tahun 2022 menunggu RUU Pemilu disahkan baru dijalankan, berpotensi “berisiko” terhadap bergesernya jadwal pilkada Aceh. Bahkan bisa saja Aceh terbawa dalam arus jadwal nasional. Kita bisa membaca dinamika politik di tingkat pusat terbagi dan terbelah pasca RUU Pemilu berada di Banleg DPR. Pandangan setiap fraksi terus beragam terhadap sejumlah norma yang diatur.
Debat seperti ini biasanya akan butuh waktu yang panjang lantaran RUU Pemilu bukan saja membahas penjadwalan pemilu, tetapi banyak norma-norma lain untuk mengatur secara komprehensif tatanan demokrasi kita.
Sepatutnya, titik bergerak pilkada Aceh bisa dimulai dari keputusan KIP Aceh dengan Nomor 1/PP.01.2-Kpt/11/Prov/I/2021, yang telah ditetapkan pada selasa 19 Januari 2020 di Banda Aceh.
Pemangku kepentingan di Aceh perlu berdialog lebih lanjut dengan Komisi II DPR, Kemendagri, KPU RI, serta pihak-pihak lainnya untuk memastikan tahapan pilkada Aceh bisa berjalan efektif sesuai dengan perintah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Kendala yang sudah muncul, dukungan anggaran untuk proses pelaksanaan pilkada di Aceh belum ada kejelasan. Semoga cepat ditemukan jalan keluar yang berkekuatan hukum.
Sumber www.acehtrend.com
Telah di Posting di :
https://www.acehtrend.com/news/mengintip-substansi-ruu-pemilu/index.html pada tanggal 30 Januari 2021
Penulis adalah anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Utara. Bisa dihubungi melalui email: pena.usman@gmail.com.